Selasa, 10 Januari 2017

Hakikat Kebahagiaan

Manusia terdiri dari dua golongan :

1.  Golongan yang berada dalam kedamaian, keimanan, bahagia dalam melakukan ketaatan kepada Allah.

2.  Golongan yang berada dalam keadaan tidak selamat, keraguan dan kerisauan dalam keingkaran terhadap peraturan Tuhan.

Jika kesucian, kebaikan dan keikhlasan lebih mendominasi, sifat-sifat mementingkan diri akan berubah menjadi suasana kerohanian dan kebahagian, yang ingkar akan dikalahkan oleh bagian diri yang baik.

Sebaliknya jika seseorang mengikuti hawa nafsu yang rendah dan kesenangan ego dirinya, sifat-sifat ingkar akan menguasai dirinya, menjadikannya ingkar dan jahat.

Jika kedua sifat yang berlawanan itu sama-sama kuat diharapkan yang baik itu bisa menang, sebagaimana yang dijanjikan: 

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan maka baginya (ganjaran) sepuluh kali lipat, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan maka Tidaklah dibalas dia melainkan sebanyak (kejahatannya) itu, dan mereka tidak akan diniayai. (Al-An’aam,160). 

Orang yang mampu mengubah sifat mementingkan diri menjadi tidak mementingkan diri, hawa nafsu yang rendah menjadi cita-cita kerohanian, untuknnya tidak ada hisab, tidak ada catatan yang akan diberikan kepadanya. Dia akan memasuki syurga tanpa hisab di hari kiamat. 

“Oleh sebab itu barang siapa berat (timbangan) kebaikannya maka dia di dalam kehidupan (akhirat) yang sentosa”. ( Al-Qari’ah, 6 & 7). 

Orang yang kejahatannya lebih berat dari kebaikannya akan dihukum menurut kadar kejahatannya. Kemudian dia dikeluarkan dari neraka, jika dia beriman, dan akan masuk syurga. 

Taat dan ingkar bermakna baik dan jahat. Kedua-duanya ada dalam diri seorang manusia. Yang baik bisa berubah menjadi jahat dan yang jahat bisa berubah menjadi baik.

Telah menjadi ketentuan/takdir bahwa baik dan jahat, kehidupan yang diberkati bagi orang yang taat dan kesengsaraan bagi yang ingkar, adalah keadaan yang telah ditentukan pada seseorang sejak dilahirkan. Kedua-duanya tergantung dari usaha orang itu sendiri. Nabi s.a.w bersabda :

“Orang yang bertuah menjadi baik adalah baik ketika di dalam kandungan ibunya, dan orang berdosa yang jahat adalah pendosa di dalam kandungan ibunya”.

Siapapun tidak boleh menjadikan takdir sebagai alasan untuk membuang segala ikhtiar, semua perbuatan baik. Seseorang itu tidak boleh mengatakan, ‘Jika aku ditakdirkan menjadi baik maka aku bersusah payah membuat kebaikan sedangkan aku sudah diberkati’. Atau berkata, ‘Jika aku sudah ditakdirkan menjadi jahat apa gunanya aku berbuat kebaikan’. Jelas sekali pendirian demikian tidak benar. Tidak wajar mengatakan, ‘Jika keadaan aku sudah ditakdirkan pada ajal apa untung atau rugi yang aku harapkan dengan usahaku sekarang’.

Contoh yang baik diberikan kepada kita adalah perbandingan di antara Adam a.s dengan iblis yang dilaknat. Iblis meletakkan kesalahan kepada takdir, yang menyebabkan dia menjadi durhaka, maka dia menjadi kafir dan dibuang jauh dari keampunan dan Tuhan. Adam a.s mengakui kekhiilapannya dan memohon ampunan, menerima ampunan dari Allah dan diselamatkan. 

Menjadi kewajiban bagi orang Islam yang beriman untuk tidak mencoba memahami sebab-sebab yang tersimpan di dalam takdir. Orang yang berbuat demikian akan menjadi keliru dan tidak mendapat apa-apa kecuali keraguan. Bahkan dia mungkin kehilangan keyakinan. Orang yang beriman haruslah mempercayai kepada kebijaksanaan Allah yang mutlak.

Segala yang terjadi pada diri manusia di dalam dunia ini pasti ada alasan tetapi alasan itu bukan untuk difahami melalui logika manusia kerana ini berdasarkan kebijaksanaan Tuhan.

Di dalam kehidupan ini bila ditemui pencacian terhadap Tuhan, kemunafikan, keingkaran, penipuan dan lain-lain yang jahat, jangan biarkan hal tersebut mengguncangkan iman.

Allah Yang Maha Tinggi dengan kebijaksanaan mutlak bertanggungjawab kepada semua perkara dan Dia melakukan apa yang kelihatannya tidak baik untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak.

Penzahiran kekuasaan yang demikian mungkin menyebabkan ada orang yang tidak tahan dan menganggapnya sebagai tidak baik tetapi ada rahasia besar yang tiada makhluk  mengetahuinya.

Ada kisah orang arif berdoa kepada Tuhan :
 
“Wahai Yang Maha Suci, semua telah diatur oleh Engkau. Takdirku adalah kepunyaan-Mu. Ilmu yang Engkau letakkan padaku adalah milik-Mu”.

Ketika itu dia mendengar jawaban tanpa suara tanpa sepatah kata, keluar dari dalam dirinya mengatakan :

 “Wahai hamba-Ku. Segala yang engkau katakan adalah kepunyaan Yang Maha Esa dan dalam keesaan. Ia bukan milik hamba-hamba”.

Hamba yang beriman itu berkata :

“Wahai Tuhanku, aku telah menzalimi diriku, aku bersalah, aku berdosa”.

Selepas pengakuan itu sekali lagi dia mendengar dari dalam dirinya :

 “Dan Aku mempunyai keampunan terhadap dirimu. Aku telah hapuskan kesalahan-kesalahan kamu, Aku telah ampuni kamu”.

Mereka yang beriman tahu dan bersyukur bahwa segala kebaikan yang mereka lakukan bukanlah dari mereka tetapi melalui mereka, kejayaan datangnya dari Pencipta.

Bila mereka bersalah, mereka tahu bahwa kesalahan mereka datangnya dari diri mereka sendiri, kepunyaan mereka dan mereka bertaubat. Kesalahan datangnya dari keegoan mereka yang batil.

“Dan apabila telah berbuat kejelekan atau menganiaya diri mereka maka mereka ingat kepada Allah dan mereka minta diampunkan dosa-dosa mereka – bukankah tidak ada yang mengampunkan dosa-dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak berkekalan di atas dosa yang mereka kerjakan, dan mereka tahu. Mereka itu balasannya ialah keampunan dari Tuhan mereka, syurga-syurga yang mengalir padanya sungai-sungai, mereka akan kekal padanya, dan alangkah baiknya balasan bagi orang-orang yang beramal”. (Al-Imraan, 135 & 136). 

Adalah baik bagi orang yang beriman mengakui semua kesalahan dan dosanya. Itulah yang akan menyelamatkannya. Itu lebih baik dan lebih benar daripada meletakkan kesalahan dirinya kepada Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pencipta semua perkara. 

Nabi s.a.w bersabda :

 “Telah diketahui bila seseorang itu berada di dalam kandungan ibunya samada dia akan menjadi baik atau pendosa” 

Maksud dari ‘dalam kandungan ibu’ itu adalah empat unsur yang melahirkan semua kekuatan atau tenaga dan kemampuan lahiriah.

Dua dari unsur tersebut adalah tanah dan air yang bertanggungjawab kepada pertumbuhan keyakinan dan pengetahuan, melahirkan kehidupan dan lahir dalam hati sebagai tawaduk (rendah diri).

Dua unsur lain ialah api dan angin yang bertentangan dengan tanah dan air – membakar, merusak, membunuh.

Qodrat Tuhan yang menyatukan unsur-unsur yang berlawanan dan berbeda menjadi satu. Bagaimana air dan api bisa menjadi satu? Bagaimana cahaya dan kegelapan bisa terkandung di dalam awan? 

“Dia yang menunjukkan kepada kamu kilat untuk menakuti dan kerana harapan, dan Dia jadikan mega yang berat. Dan petir itu beribadah dengan memuji Tuhannya, dan malaikat juga, sebab takut kepada-Nya, dan Dia kirim halilintar dan Dia kenakannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki…”. (Ar-Ra’d,12 & 13). 

Satu hari wali Allah Yahya bin Mua’adh ar-Razi ditanya :

“Bagaimana mengenali Allah?’

Dia menjawab :

“Melalui gabungan yang bertentangan”. 

Pertentangan sebenarnya diperlukan untuk memahami sifat-sifat Allah. Dengan menghadapkan diri kepada hakikat Ilahi seseorang menjadi cermin yang membalikkan kebenaran itu, juga sifat Yang Maha Perkasa dibalikkan.

Dalam diri manusia terkandung seluruh alam maya. Sebab itu dia dipanggil penggabung yang banyak. Allah menciptakan manusia dengan dua tangan-Nya, tangan kemurahan-Nya dan tangan keperkasaan-Nya, keperkasaan dan kekuasaan.

Jadi, manusia adalah cermin yang menunjukkan kedua-duanya, yang kasar serta tebal dan yang halus serta indah. 

Semua sifat Ilahi tercermin pada manusia. Allah menciptakan iblis dan keturunannya dengan sifat kekerasan-Nya. Dia ciptakan malaikat dengan sifat kemurahan-Nya. Nilai-nilai kesucian dan kebaktian yang berterusan terkandung dalam kejadian malaikat, sementara iblis dan keturunannya yang diciptakan dengan sifat kekerasan-Nya, mempunyai nilai kejahatan, kerana itu iblis menjadi takabur, dan bila Allah perintahkan sujud kepada Adam dia ingkar. 

Manusia mempunyai kedua ciri alam tinggi dan rendah, dan Allah telah memilih utusan-utusan dan wali-wali-Nya dari kalangan manusia tetapi mereka tidak bisa lepas dari kekhilapan.

Nabi-nabi dipelihara dari dosa-dosa besar tetapi kekhilapan kecil harus berlaku pada mereka. Wali-wali juga tidak terjamin dipelihara dari dosa tetapi wali-wali itu dekat dengan Tuhan, mencapai maqam kesempurnaan, mereka masuk ke bawah perlindungan Tuhan dari dosa-dosa besar. 

Syaqiq al-Baqi berkata : 

“Terdapat lima tanda kebenaran : perangai yang lemah lembut dan lembut hati, menangis kerana menyesal, mengasingkan diri dan tidak peduli tentang dunia, tidak bercita-cita tinggi, dan memiliki rasa hati (gerak hati atau intuisi).

Tanda-tanda pendosa juga lima : keras hati, mempunyai mata yang tidak pernah menangis, mencintai dunia dan kesenangannya, bercita-cita tinggi, tidak bermalu dan tidak ada rasa atau gerak hati”.

Tanda/ciri orang yang baik : 

1. Bisa dipercaya dan menjaga apa yang diamanatkan kepadanya.
2. Menepati janji.
3. Berbicara benar, tidak berbohong.
4. Tidak kasar dalam perbincangan dan tidak menyakitkan hati orang lain.

Ciri/tanda pendosa : 

1. Tidak bisa dipercayai dan meusak amanat yang diberikan kepadanya. 
2. Ingkar janji,
3. Menipu,
4. Suka bertengkar, memaki apabila berbincang dan menyakitkan hati orang lain.

Selanjutnya pendosa tidak bisa memaafkan kawan-kawannya. Ini tanda tiada iman kerana pemaaf menjadi tanda utama orang beriman. Allah memerintahkan rasul-Nya: 

“Berilah maaf, dan suruhlah mereka (manusia) berbuat kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf, 199). 

Perintah ‘maafkanlah’ bukan hanya tertuju kepada Rasulullah s.a.w saja tapi untuk  semua orang termasuk mereka yang beriman dengan Rasulullah s.a.w.

Kata ‘maafkanlah’ bermakna jadilah  pemaaf, jadikan sifat atau pribadi.  

“Barangsiapa memaafkan dan membereskan maka ganjarannya (adalah) atas (tanggungan) Allah”. (As-Syura, 40). 

Ketaatan kepada Allah berubah menjadi ingkar, kejahatan dan dosa menjadi kebaikan, tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dengan rangsangan, pengaruh, tindakan serta usaha diri sendiri.

Nabi s.a.w bersabda :

“Semua anak dilahirkan muslim. Ibu bapaknya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Setiap orang ada bakat untuk menjadi baik atau jahat, bisa memiliki sifat baik dan buruk dalam waktu yang sama. Jadi, adalah salah menilai seseorang atau sesuatu sebagai sepenuhnya baik atau buruk. Tetapi benar jika dikatakan seseorang itu lebih banyak kebaikannya daripada kejahatannya ataupun sebaliknya. 

Ini bukan bermakna manusia masuk syurga tanpa amalan baik, juga bukan dia diantar ke neraka tanpa amalan buruk. Berfikir cara demikian bertentangan dengan prinsip Islam. Allah menjanjikan syurga kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal salih dan diancam-Nya orang-orang yang berdosa dengan azab neraka. 

“Barangsiapa berbuat baik maka (adalah) untuk kebaikan dirinya dan barangsiapa berbuat jahat maka untuk dirinya. Kemudian kepada Tuhan kamulah kamu akan dikembalikan”. (Aj-Jaasiaah, 15). 

"Di hari ini dibalas setiap jiwa dengan apa yang telah dia usahakan. Tidak ada kezaliman pada hari ini. Sesungguhnya Allah cepat menghitung”. (Al-Mukmin, 17). 

"Kerana apa juga amal yang baik yang kamu sediakan untuk diri kamu nanti kamu dapati (ganjaran)nya di sisi Allah”. (Al-Baqaraah, 110).

Rangkuman Artikel

Tidak ada komentar: